Kesenian tradisional jaran kepang (kuda kepang, red) memang susah kalau bersaing dengan kesenian yang lebih modern. Hanya kecintaan para senimannya yang membuat mereka bertahan dengan kesenian yang hidup dan berlangsung secara turun-temurun tersebut. Meski kini sudah hampir tidak pernah ada yang nanggap, para senimannya tetap ingin menurunkan kesenian itu pada anak cucunya. Para seniman ingin tetap hidup dari sini, meski dia harus mengamen.
arian Tradisional Jawa ini cukup tenar. Sesuai namanya, Jaran Kepang artinya kuda-kudaan dari kepangan bambu. Belakangan kulit kambing dan kulit sapi juga dijalin untuk membuat jaran kepang. Dalam pertunjukkan ini penari bakal terus menunggang kuda tersebut dan bertingkah seolah-olah si jaran kepang hidup. Awalnya semua menari teratur dan bergoyang seperti kuda mengikuti ritme musik. Setelah beberapa saat, mendadak penari kesurupan dan mulai seperti kerasukan kuda. Mereka berlari, melompat, dan berperilaku sama dengan kuda.
Ada
yang cukup kalem, tapi kebanyakan jadi liar. Mereka meminum banyak air,
menelan daun pisang, kembang, dan gabah, layaknya kuda sungguhan. Jaran Kepang biasa diiringi para pemain gamelan. Selain itu, ada pula gambuh,
semacam sosok yang memiliki daya mistis yang mengambil peran sebagai
dalang pertunjukkan dan bertanggung jawab terhadap kesurupan. Sebelum
pertunjukkan mulai, gambuh dan pengiringnya khusyuk dalam doa serta menggelar sederet upacara.
Lengkap dengan dupa (kemenyan yang dicampur minyak wangi tertentu kemudian dibakar), buceng (berisi
ayam panggang jantan dan beberapa jajan pasar, satu buah kelapa dan
satu sisir pisang raja), kembang boreh (berisi kembangkantil dan kembang
kenanga) ulung-ulung (berupa seekor ayam jantan yang sehat), serta kinangan (berupa satu unit gambir, suruh, tembakau, dan kapur yang dilumatkan menjadi satu lalu diaduk dengan tembakau). Begitu gambuh memberikan
isyarat tertentu, dalam sekejap semua penari kesurupan. Dialah yang
akan memberikan instruksi pada kelompok penari dan juga penonton.
Di
akhir pertunjukkan, dia juga yang melepaskan para penari dari
kesurupannya. Menurut sejarah, tarian ini diangkat dari cerita rakyat
Kediri, tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Amiseno dari Kerajaan
Ngurawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar